SIKAP GEREJA KATOLIK TERHADAP BERBAGAI AGAMA DALAM DEKLARASI NOSTRA AETATE DAN APLIKASINYA BAGI DIALOG ANTARAGAMA DI INDONESIA

Abstrak:

  • “Agamaku adalah agamaku, dan agamamu adalah agamamu”. Ungkapan ini mau mengatakan pluralisme kehidupan beragama adalah sebuah keniscayaan.  Itulah sebabnya yang hendak ditekankan adalah toleransi dan saling pengharagaan yang tinggi antar kehidupan umat beragama.  Perlu adanya dialog yang dapat membuat orang untuk mencintai agamanya, tapi juga mencintai dan menghargai agama orang lain.  Gereja Katolik sejak awal telah berusaha untuk menunjukan sikap toleransi demgan umat beragama lain. Hal itu nampak secara nyata dalam deklarasi “Nostra Aetate”, sebuah dokumen Gereja yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II yang berbicara khusus tentang hubungan Gereja dengan agama-agama lain. Gereja menyadari bahwa ia tidak bereksistensi sendiri di dunia ini. Itulah sebabnya Gereja membuka diri untuk mau berdialog dengan agama lain. Gereja sungguh mengakui juga kebenaran-kebanaran yang ada dalam agama lain, yang atas salah satu cara menghantar umat manusia untuk menemukan Allah. Atas dasar itulah deklarasi “NostraAetate” diterbitkan. Pruralisme kehidupan umat breagama secara nyata kita temukan dalam konteks negara Indonesia. Masyarakat Indonesia kurang lebih menganut enam agama. Berhadapan dengan kenyataan ini, maka hal yang ditekankan oleh Gereja lewat deklarasi “Nostra Aetate” adalah sikap penghargaan dan dialog yang kiranya menghantar orang untuk menemukan kebenaran yang menghantar pada saling pengertian dan penghargaan. Dengan demikian pluralisme bukan lagi sebuah persoalan, namum menjadi sarana di mana setiap orang saling memahami dan menghargai, sehingga terciptalah kedamaian dan kerukunan yang sejati antar umat manusia.    

Deklarasi Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban teologis sikap Gereja terhadap agama-agama bukan Kristen, sebab dokumen ini seakan menjadi semacam evaluasi tentang sikap Gereja di masa lampau terhadap agama-agama lain. Lewat deklarasi  Nostra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat menghantar ke dialog dan rekonsiliasi.

Indonesia merupakan negara yang pluralis. Keberanekaragaman budaya, suku dan agama menjadi hal yang sangat biasa dijumpai dalam masyarakat Indonesia. Indonesia pun merupakan negara yang masyarakatnya menganut banyak agama. Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Enam agama ini hidup dan bereksistensi di Indonesia, serta turut membentuk tatanan nilai-nilai moral dan kesusilaan dalam masyarakat Indonesia.

Parsaudaraan sejati dapat tercapai jika diantara manusia tercipta iklim toleransi. Hidup dalam masyarakat Indonesia yang pluralis, nilai toleransi sangat relevan. Kerukunan menjadi dasar dari kebutuhan hidup manusia untuk membangun persaudaraan sejati. Dialog diadakan untuk membangun saling pengertian melalui pertemuan pribadi. Dialog menjadi sarana di mana setiap pemeluk agama saling mendengarkan, bukan untuk menjatuhkan, tetapi dengan dialog setiap pemeluk agama membangun dalam dirinya saling perngertian yang tulus untuk menerima perbedaan yang ada dalam agama lain.

Deklarasi Nostra Aetate kembali mengajak Gereja dan agama-agama lain untuk hadir sebagai saudara dalam kerja sama. Pengakuan bahwa ada banyak agama dan tradisi lain di luar Gereja mengandaikan adanya wawasan pluralistik dalam kerja sama. Deklarasi Nostra Aetate mengambarkan sikap dewasa yang perlu diambil dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Sikap dewasa ini ditunjukkan dengan saling menghargai serta mau berdialog secara terbuka dengan para pengikut agama lain.

Melihat realitas yang terjadi di Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawah agama tampak kering. Agama jauh dari kehidupan kemasyarakatan. Agama cenderung memikirkan diri sendiri dalam lingkup dogma, aturan, dan legalitas. Belum mampu melihat realitas masyarakat yang mengalami penindasan, pemerkosaan hak, dan penderitaan kaum tertindas.[1]

Bentuk dari toleransi adalah: saling menghargai, memberi ruang bagi agama lain dalam melakukan kegiatan keagamaan mereka, saling menjaga ketertiban jika ada kegiatan besar keagamaan. Hambatan yang bisa saja terjadi dalam usaha untuk membagun tolerasi umat beragama adalah, kurangnya pengetahuan tentang adanya perbedaan yang menyebabkan orang menjadi egois dan sombong, merasa lebih baik, dan tidak peduli dengan saudara, teman, tetangga dan masyarakat.

Karena itulah orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan. Usaha untuk membawa nilai-nilai kemanusia itu akan terwujud jika umat beragama jujur terhadap realitas dan terhadap Tuhan. Jujur terhadap realitas berarti umat beragama memiliki bela rasa terhadap penderitaan umat manusia yang berbeda keyakinan.[2]

Negara Indonesia sebagai negara yang pluralis, maka dialog sangatlah perlu untuk tetap dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Ada empat dialog yang perlu untuk selalu diupayakan dalam menjalin relasi kerja sama dengan umat beragama lain. Empat dialog itu adalah: Dialog kehidupan, dialog karya, dialog teologis, dan dialog pengalaman keagamaan.